Raden Ayu Lasminingrat lahir di Garut pada 1843, atau 36 tahun sebelum RA Kartini dilahirkan. Selain menulis karyanya sendiri, dia juga banyak menerjemahkan buku-buku anak sekolah dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda, baik menggunakan aksara Jawa maupun Latin.

Hal itu tidak aneh, mengingat Lasminingrat memang sempat diasuh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Dia pun menjadi perempuan pribumi satu-satunya yang mahir menulis dan berbahasa Belanda pada masanya.

Dalam buku Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, Mikihiro Moriyama mencatat, sejak kecil, Lasminingrat bercita-cita memajukan pendidikan kaum hawa. Lalu, setelah dipinang Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, dia memilih pensiun dari dunia kesusastraan dan fokus kepada pendidikan perempuan.

Pada 1907, Lasminingrat mendirikan sekolah keutamaan istri. Sekolah ini dianggap cukup maju karena sudah menggunakan sistem kurikulum. Materi pembelajaran diarahkan pada keterampilan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan menjahit.

Dia berharap, setelah menikah, muridnya telah pandai mengurus suami dan mendidik anak-anak. Dalam kurun empat tahun, jumlah murid keutamaan istri tumbuh menjadi sekitar 200 orang. Lalu, 15 ruang kelas dibangun seluruh murid dapat tertampung.

Pada 1913, sekolah ini bahkan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda. Sejarah juga mencatat, Lasminingrat adalah tokoh di balik pendirian Sakola Istri asuhan Dewi Sartika. Jika Dewi Sartika disebut-sebut sebagai tokoh pendidikan, maka tak berlebihan jika Lasminingrat didaulat sebagai tokoh perempuan intelektual pertama Indonesia.


 

sumber : jabar.idntimes.com/